Dua diantara insan yang sama


Hi! Aku pernah berada di suatu sisi, aku begitu kepedean akan rasa. Mungkin kau tidak langsung meluapkan kata itu padaku. Akan tetapi dari banyak perilaku serta caramu yang membuatku semakin bertanya Tanya dalam diri. “Apakah dia ada rasa padaku saat ini”

Masih teringat di kala aku masih jaman sekolah dasar. Mungkin orang bakal menyebutnya itu cinta monyet. Tapi, eitssss! Aku engga sampai pada tahap cinta monyet itu {HUH}

Hanya, aku mengagumimu selalu kala itu. Tapi, ternyata rasa kagum itu berlalu. Karena disaat aku mengagumimu Allah ingatkan aku melalui caramu yang mengajakku serta saudaramu bertemu dengan cinta monyetmu itu. Huh, mulai dari sanalah rasa kagum itu ku kubur begitu dalam, berharap di tahun setelahnya bahkan berikutnya akuu tidak ada rasa yang sama.

Masa dimana aku memasuki sekolah asrama, sapaan dari notif Instagram yang memberiku ucapan selamat atas bertambahnya umur. Kalau dibaca dari diksinya ucapan itu tak biasa. Tapi, aku masih ingat, aku sudah mengubur sangat dalam rasa kagum itu. Jawabanku kala itu ketus sekali, berharap obrolan darimu cukup aku yang mengakhiri. Namun, nyatanya tidak! Kamu membalasnya dengan mengalihkan topik pembicaraan! Selesai! aku yang mengakhiri obrolan itu dengan kalimat singkat yang mungkin membuatnya tak mungkin menjawab lagi.

Seiring berjalannya waktu, rasanya aku lupa akan orang itu. Ya, mungkin karena kegiatan asrama yang padat jadi hal mengenai orang itu lupa.

Tiba-tiba ketika aku membersihkan lingkungan di asrama ada tetangga yang lewat dan memanggil namaku. Kata beliau, setiap melihatku beliau memanggilku tapi aku tidak pernah mendengar panggilan itu. Dengan secara tiba-tiba sekali suami dari tetangga ku itu mengawali topik yang membuatku terkaget. Katanya kamu dapat salam dari dia. Dia, orang sama yang pernah aku kagumi.

Rasanya aku seperti melambung sendiri dalam kesenangan haqiqi. Sepekan setelah aku bertemu tetanggaku itu hari perpulangan tiba. Aku bercerita kepada kakaku tentang hal itu. Tanpa disadari dia juga memiliki rasa yang sama.

Tapi, kawan seiring berjalannya waktu manusia yang mengirimiku surat itu tersadar. Bahwa dia capek dalam ketidak pastian berharap pada manusia. Sudahalah saatnya aku berpesan.


Bahwa bukan saatnya memikirkan hal itu, pertama dan yang paling utama harus fokus pada tujuan yang sudah dirancang sebelumnya. Melangitkan harapan pada sang Pencipta. Dan menjadi hamba yang bertakwa


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertumbuh

Tempat berharap itu akan selalu ada

Buku pinjaman